Judul postingan ini kalau ditranslate kedalam Bahasa inggris maka bunyinya akan seperti ini “Social media analysis in binary proposition review”.
Keren banget gaess, udah macam judul tesis ini mah….
Masalah tepat atau tidak dalam penempatannya itu tugas penilai macam njenengan semua, silahkan mengkritik, memberi masukan atau mencaci bahkan membuangnya ya gapapa, bagi saya yang penting ada ketertarikan terlebih dulu untuk membacanya, Heuheu.
Dalam berbagai fenomena sosial yang viral dikonsumsi publik, khususnya dalam jagad media sosial, maka akan muncul berbagai ragam sikap dan komentar yang merespon fenomena tersebut, baik yang bersifat afirmatif maupun negative, baik komentar yang mendukung, netral, hingga bersebrangan, dan itu semua merupakan hal yang wajar bahkan suatu keniscayaan dalam ranah media sosial.
Namun ada yang menarik dalam pengamatan saya, bahwa Tarik menarik yang terjadi dalam pro dan kontra atas suatu isu tertentu biasanya yang menjadi “korban” dalam perdebatan adalah pihak yang netral, setidaknya ini pendapat pribadi saya.
Jika pendapat yang pro dan kontra berimbang, maka pihak yang netral adalah yang paling kecil, paling rapuh dan paling lemah diantara hingar bingar beradunya dua kekuatan besar di atas, serta menjadi posisi yang serba salah, ibarat pepatah “Dua gajah bertarung pelanduk mati di tengah tengah”. Posisinya serba tidak enak dan serba nanggung, oleh pihak yang pro ia danggap kontra, sebaliknya oleh pihak yang kontra ia dianggap pro, membingungkan sekali.
Contohnya dalam persoalan yang menyangkut keabsahan nasab Ba’alwi, di jagad media sosial kedua belah pihak -baik kubu kiai Imad dan kubu Habaib- saling serang silih berganti, saling beradu argumen, terkadang kubu kiai Imad berada diatas angin, diwaktu yang berbeda sepertinya kubu Habaib yang melenggang, seperti itu berlangsung dari waktu kewaktu hingga sekarang.
Dalam pertikaian argumentatif antara keduanya, terdapat pihak pihak yang lebih memilih netral, ia tidak menentukan keberpihakannya pada salah satu dari keduanya, namun posisi itu justru menjadi rumit karena dan membingungkan karena tidak jarang ia dianggap pro kiai Imad oleh para Muhibbin, dan sering dianggap pro Habaib oleh kubu kiai Imad, dan repotnya lagi, pelaku arus utama seringkali tidak dapat atau tidak mau menerima penjelasan yg berbeda.
Atau jika dari kedua pendapat yang menjadi arus utama salah satunya lebih kuat, maka posisi netral biasanya atau bahkan selalu, di tempatkan oleh yang kuat berada pada posisi yang lemah, contohnya pada persoalan yang menimpa Gus Miftah, pihak yang lebih kuat adalah para pengkritik GM, sedangkan sangat sedikit sekali pihak2 yang membela GM, sehingga posisi GM benar2 terpojok di sudut kepasrahan.
Nah, dalam keadaan yang demikian, lagi lagi sial pihak yang netral, pihak yang berusaha mendinginkan suasana, yang berusaha bersikap adil dan objektif justru di posisikan oleh pihak yang mendominasi sebagai lawan yang harus mereka hadapi dan jika perlu dihabisi, karena dianggap pro dengan GM.
Tapi memang begitulah faktanya, sudut pandang netizen hanya melihat dari kaca mata yang sangat sederhana, dengan basis proposisi biner, sehingga Kesimpulan yang ditarik hanya dua kutub yang saling berlawanan, kalau bukan hitam pastilah putih, kalau tidak benar berarti salah, kalau tidak pro sudah pasti kontra, kalau bukan kami berarti mereka, seolah olah tidak adalagi ruang yang berbeda dari keduanya.
Namun satu hal yang mungkin kurang dipahami oleh oleh dua kekuatan biner tadi adalah, bahwa pihak ketiga atau pihak yang netral biasanya tidak begitu peduli dengan segala tuduhan, justifikasi, cacian, makian atau apapun dari keduanya, karena kelompok yang netral sendiri tidak peduli dengan polemiknya.
Paham mboten gaess.
Paham sukur, gak paham ya gapapa.
Gitu aja kok repot.
😁😁😁
Proposisi biner ini menjadi sebuah dasar dalam logika formal. Dalam fakta yang sudah disampaikan penulis di atas. Maka akan muncul nilai benar apabila semua pihak benar dan ada kemungkinan muncul nilai kebenaran apabila salah satu pihak benar atau ke-dua nya benar.
Kesimpulan hanya memunculkan kita untuk menjadi bijaksana. Tetapi kita tidak bisa membawa nitizen untuk menjadi bijaksana.
Akhirnya kita sepakat mengatakan bahwa ini adalah logika. Kita memiliki kacamata yang berbeda dalam melihat sesuatu, padahal sesuatu itu hal yang sama yang sama-sama kita saksikan dengan kacamata pandangan masing masing. Maka perlu kesepakatan dan itu normal..
Semangat Gus..
Mau tidak mau kita harus ada di salah satu pihak ,,jangan netral karena walaupun netral tetap kita akan tertuduh memihak kepada salah satu oleh kubu tertentu, sebelum berpihak penting kita memahami terlebih dahulu kebenarannya.