Anarkisme Ubudiyah

nubekasi.or.id – Menjelang datangnya bulan Ramadhan dan nanti sepanjang bulan Ramadhan hingga masa lebaran, kita akan melihat banyak sekali simbol simbol keagamaan (Islam) yang dipakai, dipajang maupun digunakan secara euforia dan massif oleh masyarakat.

Seolah olah tidak afdhal jika datangnya bulan Ramadhan maupun lebaran tidak diperingati dengan menyertakan simbol simbol keagamaan, bahkan yang lebih ekstrim, ada yang mempertanyakan keislaman dan keimanan seseorang yang menyambut bulan Ramadhan dengan cara “biasa saja”.

Simbol simbol tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, adakalanya berupa pakaian, aksesoris, pernak pernik, spanduk ucapan selamat, hingga simbol simbol yang bersifat perilaku.

Sebenarnya ini wajar saja terjadi, karena kita akan melihat hal yang sama ketika menjelang Natal, Imlek dan lain sebagainya.

Bagi saya, boleh boleh saja seseorang menyambut bulan Ramadhan yang memang kita yakini penuh dengan keberkahan ini dengan cara cara simbolik seperti yang sudah disebutkan di atas, sepanjang hal itu dilambari dengan niatan untuk memperbaiki ruhani tanpa melanggar hak hak individu orang lain.

Malah bagus jika di bulan Ramadhan seseorang mengalami transformasi yang bersifat batiniyah sehingga pasca Ramadhan ia seakan terlahir suci (kembali) dan terbebas dari penyakit hati yang sebelumnya membelenggu jiwanya.

Namun yang seringkali kita lihat dari tahun ke tahun justru sebaliknya, simbol simbol keagamaan yang dikenakan selama Ramadhan justru mengalami penyimpangan, terjadi “Abuse of religion symbol” dimana seseorang yang menggunakan simbol simbol tersebut merasa dirinya menjadi yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang tidak mau atau enggan mengenakannya.

Masalahnya akan meningkat menjadi lebih rumit bahkan lebih besar, jika perasaan merasa lebih baik itu dilakukan oleh orang yang dianggap memiliki otoritas keagamaan dan diikuti pula oleh pengikutnya, dan melakukan penekanan maupun intimidasi secara barbar kepada pihak lain agar mengikuti ekspektasi kelompoknya, sehingga persoalan abuse of symbol naik levelnya menjadi abuse of power, yang mana itu dilakukan atas nama agama dan atas nama ibadah.

Saya menyebut hal itu sebagai “Anarkisme ubudiyah”, mungkin itu bukan istilah yang paling tepat, tapi melalui istilah tersebut, saya ingin menyampaikan bahwa kekerasan yang dilakukan meskipun atas nama ibadah, justru bertolak belakang dengan substansi dari ajaran agama dan dapat merusak citra agama itu sendiri.

Apalagi jika aksi anarkisme tersebut dilakukan oleh seorang tokoh yang dianggap memiliki otoritas keagamaan tentu sangat berbahaya jika dibiarkan, karena berpotensi dianggap sebagai suatu kebenaran dan akan diikuti oleh para pengikutnya meskipun saya berhusnudzon maksud mereka mungkin baik, yakni dakwah amar ma’ruf nahi munkar, namun bukankah mengajak kepada hal yang ma’ruf juga mestinya dengan cara yang ma’ruf, pun demikian dengan nahi mungkar, mestinya tidak dilakukan dengan cara cara yang mungkar.

Dan dalam agama Islam, dakwah atau mengajak untuk kebaikan haruslah dengan cara yang bijaksana, yang mana hal itu telah dilakukan oleh para wali Songo, para kiai dan guru guru kita, mereka berdakwah dengan cara merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina.

Untuk itu saya ingin mengajak semuanya untuk melakukan instropeksi atas perilaku kita, tujuannya agar jangan sampai iman dan amal salih kita ditunggangi oleh ego maupun kepentingan kita, terutama sepanjang bulan Ramadhan ini.

Kita tentu mendambakan bulan Ramadhan ini dengan berjalan dengan penuh ketenangan, kekhusyukan dan kedamaian, agar kita dapat menjalankan ibadah didalamnya dengan sebaik-baiknya.

Tapi itu adalah ekspektasi saya, yang mana belum tentu sama dengan ekspektasi sosial, bisa jadi masyarakat menginginkan sebaliknya.

Wallahu a’alam.

Bekasi, 170225

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *