SURAT CINTA UNTUK GUS DAN NING
Oleh : Usamah Zahid.
Saya sangat salut kepada putra dan putri Kiai, Gus dan Ning yang istiqomah dijalur ilmiah dan pendidikan bagi para santri maupun jama’ah.
Penghormatan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang masih mau menyempatkan waktu, ilmu dan pikirannya untuk mendidik murid muridnya.
Karena menjadi Gus dan Ning itu anugrah yang tidak dapat diraih, tidak dapat diupayakan, tidak dapat dicita-citakan, dan hanya dapat diperoleh melalui jalur keturunan atau nasab, dari seorang Kiai pengasuh pondok pesantren kepada putra putrinya, jadi kalau ayah anda bukan seorang kiai, sampai kapanpun anda tidak akan menjadi Gus atau Ning.
ya tentu saja pengecualian, misalnya anda orang yang lahir dari keluarga biasa, kemudian diambil.sebagai menantu Kiai, maka anda akan menjadi Gus atau Ning Naturalisasi, tapi ada pula pihak-pihak yang berupaya menaikkan level status sosialnya dengan menyematkan gelar Ning atau Gus di depan namanya meski ia bukan anak seorang Kiai, contoh paling konkrit ya saya, eh, mama saya memang Agus ding, jadi itu asli, bukan pansos ekekek….
Sebenarnya istilah Gus dan Ning itu hanya berlaku di Jawa bagian timur saja (minus Madura), di Jawa Barat maupun Jawa Tengah sebenarnya istilah Gus dan Ning tidak lazim disematkan kepada putra dan putri para Kiai, daerah daerah tersebut punya istilah tersendiri untuk menyebut dengan panggilan kehormatan bagi keturunan Kiai.
Dan dalam tradisi pesantren, seorang santri baik putra maupun putri dituntut untuk menghormati dengan penuh keta’dziman kepada Kiai dan seluruh keluarganya, baik itu istri Kiai (bu Nyai), putranya (Gus) maupun putrinya (Ning).
Bagi para santri yang saat ini masih menimba ilmu di pesantren, pasti melakuan itu semua, pun demikian dengan para alumni pesantren seperti saya dan lainnya, penghormatan kepada para Kiai dan keluarganya masih dilakukan, setidaknya menghadiahkan pahala surat fatihah.
Dengan penghormatan yang begitu besar yang berasal dari para santri dan alumni, status sosial Gus dan Ning ikut terangkat mengikuti status sosial orang tuanya, yang minimal sekali ia mendapatkan privilege atau keistimewaan dari dan dihadapan para santri nya.
Keistimewaan itu bisa bermacam-macam bentuknya, tapi terutama sekali berupa materi, para santri dan alumni termasuk saya akan dengan semangat dan senang hati bila dapat menyenangkan keluarga Kiai, kita akan berlomba-lomba untuk dapat memberikan yang terbaik untuk mereka.
Dan ini bukanlah suatu masalah, sekali lagi saya tekankan ini bukan suatu masalah, karena kita merasa apa yang kita berikan saat ini tidaklah sebanding dengan ilmu yang kita dapatkan dari para Kiai.
Jika saat ini saya dapat membaca alquran, dan memahami sedikit tentang ilmu agama, tidak lain dan tidak bukan itu berkah jasa para kiai, jadi wajar jika kemudian kami membalas jasa mereka dengan memberikan sedikit dari apa yang kami miliki.
Hanya saja, penghormatan yang begitu besar yang diterima oleh para Gus dan Ning tadi kadangkala menjadikan mereka terlalu enjoy di dalamnya, sehingga tanggungjawab ilmiah yang seharusnya mereka emban sebagai Gus yang memiliki banyak santri maupun jama’ah menjadi terabaikan.
Bahkan ada yang tidak memiliki jadual ngajar santri atau jama’ah sama sekal, kerjanya ya hanya jalan jalan sambil menikmati privilege yang ada.
Maka seperti yang saya sampaikan di awal, bagi para Gus dan Ning yang masih mau mengajar santri dan jama’ah, anda adalah orang yang memang sangat layak mendapatkan penghormatan dan sangat pantas melanjutkan perjuangan abah dan simbah njenengan.
Tapi apapun itu saya tetap ta’dzim kepada para Kiai, bu nyai, Gus dan Ning semuanya, sebagaimana saya juga tetap ta’dzim kepada para sayyid, meskipun ya tidak semuanya bisa ngaji.