كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الوَحْيِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Bagaimana terjadinya permulaan wahyu kepada Rasulullah SAW?
Al-Humaidi, ‘Abdullah ibn Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata Yahya ibn Sa’id al-Anshari telah menceritakan kepada kami, ia berkata Muhammad ibn Ibrahim telah memberi kabar kepadaku, bahwa ia mendengar ‘Umar ibn Khaththab berbicara di atas mimbar, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, sedangkan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya. Maka, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.
Ada sebuah kejanggalan yang dilihat dari penempatan hadis niat ini dalam bab menjelaskan permulaan turunnya wahyu. Pertanyaan besar muncul, apa korelasi antara hadis niat dan bab permulaan turunnya wahyu? Apakah imam al-Bukhari sengaja meletakkan hadis ini dalam bab ini atau ada kesalahan penempatan? Dalam menjawab pertanyaan ini, imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menjelaskan tiga sudut pandang.
Pertama, imam al-Bukhari mengikuti arahan Nabi dalam melakukan segala sesuatu dengan mendahulukan hal yang ada hubungannya dengan Quraisy. Ibnu Hajar menjelaskan sebagai berikut:
فَكَأَنَّ الْبُخَارِيَّ امْتَثَلَ قَوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِّمُوا قُرَيْشًا فَافْتَتَحَ كِتَابَهُ بِالرِّوَايَةِ عَنِ الْحُمَيْدِيِّ لِكَوْنِهِ أَفْقَهَ قُرَشِيٍّ أَخَذَ عَنْهُ وَلَهُ مُنَاسَبَةٌ أُخْرَى لِأَنَّهُ مَكِّيٌّ كَشَيْخِهِ فَنَاسَبَ أَنْ يُذْكَرَ فِي أَوَّلِ تَرْجَمَةِ بَدْءِ الْوَحْيِ لِأَنَّ ابْتِدَاءَهُ كَانَ بِمَكَّةَ
Artinya: Imam Bukhari mengimplementasikan hadis Nabi yang berbunyi “Dahulukanlah orang Quraisy”, maka ia membuka kitabnya dengan mencantumkan hadis riwayat al-Humaidi yang merupakan orang Quraisy paling ahli fikih. Selain itu, al-Humaidi juga keturunan orang Mekkah karena wahyu turun pertama kali di kota Mekkah.
Jika merujuk pada penjelasan ini, maka kita bisa lihat salah satu pemilihan Abu Bakr al-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Nabi adalah karena ia berasal dari bangsa Quraisy dan Mekkah. Hal ini tentu didasari pada karakter kepribadian dan kepemimpinannya yang juga baik.
Kedua, imam al-Bukhari ingin mempertegas niat penulisan kitab Shahih al-Bukhari hanya karena Allah, bukan untuk mencari tujuan lainnya, apalagi dunia. Ibnu Hajar menjelaskan sebagai berikut:
إِنَّ الْخَطَّابِيَّ فِي شَرْحِهِ وَالْإِسْمَاعِيلِيَّ فِي مُسْتَخْرَجِهِ أَخْرَجَاهُ قَبْلَ التَّرْجَمَةِ لِاعْتِقَادِهِمَا أَنَّهُ إِنَّمَا أَوْرَدَهُ لِلتَّبَرُّكِ بِهِ فَقَطْ وَاسْتَصْوَبَ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ مَنْدَهْ صَنِيعَ الْإِسْمَاعِيلِيِّ فِي ذَلِك. وَقَالَ بن رَشِيدٍ لَمْ يَقْصِدِ الْبُخَارِيُّ بِإِيرَادِهِ سِوَى بَيَانِ حُسْنِ نِيَّتِهِ فِيهِ فِي هَذَا التَّأْلِيفِ
Artinya: Imam al-Khaththabi dalam kitab Syarh-nya dan Isma’ili dalam kitab Mustakhraj-nya meriwayatkan hadis ini dan mencatat sebagai hadis pertama karena mengikuti imam al-Bukhari yang diyakini sebagai bentuk mengambil berkah hadis ini. Hal ini dibenarkan oleh Abu al-Qasim ibn Mandah. Ibn Rasyid berkata bahwa imam al-Bukhari hanya bertujuan untuk meluruskan niat dalam menulis kitab Shahih ini.
Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia dalam setiap kegiatan yang harus didasari pada niat dan tujuan yang baik dan mendapatkan ridlo Allah. Niat bekerja boleh saja untuk mencari nafkah, tapi harus diiringi dengan niat bahwa hal tersebut didasari pada keikhlasan dalam bekerja, sehingga tidak akan merasa kecewa jika hasil yang didapatkan tidak seperti ekspektasinya.
Ketiga, hadis ini sangat erat hubungannya dengan proses turunnya wahyu di gua Hira’ karena Nabi datang ke gua Hira’ untuk fokus beribadah kepada Allah dengan memurnikan hatinya dari segala perilaku dan keyakinan yang menyimpang dari ajaran tauhid. Ibnu Hajar menjelaskan sebagai berikut:
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ الْمَلِكِ الْبَوْنِيِّ قَالَ مُنَاسَبَةُ الْحَدِيثِ لِلتَّرْجَمَةِ أَنَّ بَدْءَ الْوَحْيِ كَانَ بِالنِّيَّةِ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَطَرَ مُحَمَّدًا عَلَى التَّوْحِيدِ وَبَغَّضَ إِلَيْهِ الْأَوْثَانَ وَوَهَبَ لَهُ أَوَّلَ أَسْبَابِ النُّبُوَّةِ وَهِيَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ أَخْلَصَ إِلَى اللَّهِ فِي ذَلِكَ فَكَانَ يَتَعَبَّدُ بِغَارِ حِرَاءَ فَقَبِلَ اللَّهُ عَمَلَهُ وَأَتَمَّ لَهُ النِّعْمَةَ
Artinya: Dari Abu ‘Abdil Malik al-Bauni, berkata: korelasi hadis ini dengan judul adalah bahwa permulaan wahyu terjadi dengan niat. Allah SWT menciptakan Nabi Muhammad dengan tauhid, membuatnya benci berhala, dan memberikannya mimpi yang nyata sebagai tanda-tanda kenabian. Ketika Nabi menyadari hal tersebut, maka Nabi niat untuk memurnikan hatinya kepada Allah dengan beribadah di gua Hira’, kemudian Allah menerima amalnya dan menyempurnakan nikmat kepadanya.
Sudut pandang ini yang paling dekat dan kuat untuk menghubungkan hadis niat dengan permulaan wahyu. Hadis ini sebetulnya diucapkan Nabi pada saat hijrah untuk merespons seorang sahabat laki-laki yang melaksanakan hijrah untuk mendapatkan perhatian wanita Bernama Ummu Qais yang ingin dinikahi, tetapi dapat dihubungkan dengan alasan Nabi mendatangi gua Hira’ yang memang untuk keikhlasan kepada Allah dengan menghilangkan segala bentuk kemusyrikan yang ada di hadapannya.
Ini adalah korelasi yang bisa kita dapatkan ketika imam al-Bukhari menempatkan hadis niat pada bab permulaan turunnya wahyu, meskipun secara lahir tidak memiliki korelasi, tetapi bisa didapatkan titik temu antara hadis niat dan permulaan turunnya wahyu.