Banyak Nahdliyyin yang percaya dan bergabung dengan Nahdlatul Ulama karena ingin “ngalap berkah” di NU, atau karena diperintah oleh guru atau kiainya agar ikut NU, atau ingin agar kelak diaku sebagai santrinya Hadrotus Syaikh mbah Yai Hasyim Asy’ari.
Tentu hal ini tidak keliru, bahkan saya pun berharap demikian, namun mestinya pemikiran ini tidak berhenti sanpai disini, karena ini merupakan sikap yang pasif, dan jika hanya demikian, yang terjadi adalah kejumudan dalam berfikir dan bertindak, orang menjadi malas untuk berbuat demi kemajuan Nahdlatul Ulama.
Kita sebagai warga Nahdliyyin mestinya harus memiliki peran yang aktif dalam rangka menyebarkan dan membesarkan Nahdlatul Ulama, ada anggapan yang menurut saya kurang tepat dalam pemaknaannya yaitu; “NU itu itu sudah besar, kita ini siapa kok mau membesarkan NU”, atau “NU itu sudah baik, bukan kapasitas kita untuk memperbaiki NU”, dan sialnya, anggapan semacam itu banyak diafirmasi oleh sebagian besar warga Nahdliyyin, sehingga membuat sebagian Nahdliyyin gamang untuk berbuat sesuatu yang lebih untuk NU, bahkan sebagian kiai ada yang menakut2i dengan ancaman “koe ki sopo, melu NU ora usah aneh2, mengko malah kuwalat”, (kamu itu siapa, ikut NU tidak perlu berbuat yang aneh2, nanti malah kuwalat).
Sikap semacam itu jelas mematikan progresifitas Nahdliyyin, terutama kaum muda yang sedang sangat bersemangat dalam ber-NU, sikap semacam itu juga dapat membunuh kreatifitas Nahdliyyin dalam berorganisasi, sehingga jika sikap tersebut terpelihara, NU tidak akan mengalami kemajuan, stagnan dan akan kesulitan mengimbangi kemajuan zaman.
Sikap tawadlu’ dan ta’dzim kita kepada para guru dan kiai jangan sampai menghalangi nalar kritis dan semangat kita untuk melakukan perubahan, bahkan jika kita mau melihat sejarah perkembangan NU dari masa kemasa, maka kita akan menjumpai banyak sekali tokoh2 NU baik dari kalangan para kiai maupun pemudanya yang memiliki pemikiran2 briliant, sikap pandang visioner dan aksi nyata yang mampu membawa NU hingga menjadi organisasi yang amat disegani seperti saat ini.
Kita harus sadar bahwa perubahan adalah suatu kenisacayaan, pergerakan zaman pasti membawa suatu perubahan yang harus diantisipasi sebaik mungkin jika kita ingin NU tidak tergilas oleh perubahan tersebut.
Sudah banyak sekali contoh betapa suatu entitas yang dahulu pernah berjaya, namun saat ini hilang tinggal cerita, apakah itu suatu komunitas, organisasi, ideologi, partai, bahkan kerajaan atau negara, dapat bertahan atau hilang ditelan zaman, semua tergantung pada bagaimana manusia manusia yang berada didalamnya mampu berselancar mengikuti dan beradaptasi dengan segala perubahan perubahan yang ada.
Kebesaran yang saat ini melekat pada Nahdlatul Ulama janganlah membuat kita terlena dan jumawa, dengan memandang selain NU sebagai sesuatu yang kecil, lemah dan tidak berdaya.
Jika saat ini Nahdlatul Ulama dipandang sebagai organisasi yang besar, tentu itu merupakan buah dari besarnya pemikiran dan effort para pendahulunya, kita tentu memiliki keinginan bahwa kedepan NU akan dapat bertambah besar, tambah digdaya dan bertambah pula kemanfaatan yang mampu di berikan kepada umat, namun keinginan itu tidaklah akan dapat terwujud jika kita hanya diam atau hanya melakukan sesuatu yang sifatnya biasa biasa saja.
Diskursus tentang dalil tahlilan, maulidan, do’a qunut ataupun pembahasan khilafiyah lainnya, mestinya sudah selesai dan tidak perlu dijadikan hambatan, semua telah dikupas secara tuntas oleh para kiai yang kompeten dibidangnya, bahkan telah banyak dicetak baik dalam buku2, jurnal2, ataupun dimuat di media2 online.
Abad ke dua Nahdlatul Ulama harus kita songsong dengan semangat yang lebih relate dengan kondisi yang ada, tentang bagaimana startegi NU memerangi kemiskinan, kebodohan dan ketidak adilan, tentang bagaimana Nahdlatul Ulama mampu menjadi jembatan bagi tercapainya perdamaian dalam setiap konflik yang ada, serta turut berperan mencegah terjadinya benturan budaya dalam era yang hampir tidak lagi ada sekat teritori yang jelas diantara umat manusia karena semuanya telah terkoneksi melalui jaringan dunia maya.
Forum Religion of Twenty (R20) yang digagas oleh KH. Yahya Cholil Staquf selaku ketua umum PBNU beberapa waktu yang lalu merupakan lompatan yang sangat brilliant dan dapat dicontoh oleh struktur yang ada dibawahnya, yang menyadarkan kita bahwa peran NU saat ini sudah sedemikian strategis, NU bukan lagi organisasi “ndeso” yang pengurusnya hanya sibuk melakukan ritual keagamaan semata, tetapi dengan konsep tasamuh dan tawazun yang NU miliki, dapat berperan meredam potensi2 konflik melalui dialog antar agama.
Saya rasa, jika para pemangku jabatan struktural dalam NU diberbagai tingkatan memiliki pola pikir dan gagasan yang visioner serta ditunjang kemauan untuk bekerja secara praksis, tidak sekedar teoritis, maka di abad kedua NU ini akan semakin banyak kemaslahatan yang dapat diberikan oleh NU, tidak hanya bagi Nahdliyiin tetapi juga bagi bangsa dan dunia!